Mengurai Makna 'Fakboy' dari Kacamata Warung Kopi

Laporan: Tim SA Center
(Foto: Sulthan Alfaraby di Acara Aceh Lawyers Club)

Oleh: Sulthan Alfaraby (Mahasiswa Aceh dan Pegiat Diskusi)

Tulisan ini berawal dari diskusi santai di warung kopi dan membahas tentang kejadian-kejadian unik di tahun 2020. Seperti kita ketahui, tahun 2020 merupakan tahun yang penuh dengan kejutan, mulai dari kemunculan berbagai bencana global sampai dengan istilah-istilah unik yang muncul ke permukaan media sosial. Tentu semua itu ada pemicunya, misalnya adalah istilah 'Fakboy' atau 'Fakgirl'. Istilah semacam 'Fakboy' atau 'Fakgirl' yang kian bergeming ini ternyata cukup memanas di kalangan kaum remaja masa kini dan Instagram merupakan salah satu platform media sosial yang paling parah terkena dampaknya meskipun tidak ada yang tahu siapa pencetus awal istilah tersebut.

Mungkin, pembaca ada yang mempertanyakan bahwa untuk apa penulis membahas istilah yang mungkin menurut sebagian orang tidaklah penting. Tapi, penulis akan menjelaskan kenapa istilah 'Fakboy' dan sejenisnya penting untuk dibahas jika kita melihat makna kata tersebut dari aspek sosiologi. Kita juga tahu, bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku sosial antara individu dengan individu, individu dengan kolompok, dan kelompok dengan kelompok. Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah jauh dengan yang namanya hubungan sosial, karena bagaimanapun hubungan sosial tersebut akan mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitarnya.

Istilah 'Fakboy' yang ditujukan khusus laki-laki atau 'Fakgirl' yang ditujukan khusus perempuan, merupakan istilah yang awalnya berasal dari dua suku kata "Fuck" (makna dari berengsek) dan "Boy/Girl" (Laki-laki/Perempuan)". Menelaah dari makna kata tersebut, dapat diketahui bahwa istilah tersebut ditujukan untuk menggambarkan karakter seseorang yang mempunyai sifat berengsek. Berengsek yang dimaksud di sini merupakan cerminan dari pengkhianatan yang dilakukan selama kedua individu (laki-laki dan perempuan) menjalin hubungan percintaan. Oleh karena itu, tak jarang kita memandang perilaku warganet yang kerap meniru dan membawa embel-embel 'Fakboy' maupun 'Fakgirl' sebagai ungkapan kekecewaan terhadap diri seseorang dalam dunia percintaan.

Imbasnya permasalahan ini terhadap generasi muda adalah menjadikan mereka menjadi generasi yang dapat dikatakan sebagai 'generasi jahat'. Penulis berikan contoh, misalnya sifat-sifat kebaikan yang harusnya muncul di kalangan sebagian perempuan maka akan tergerus oleh asumsi 'Fakboy'. Perempuan akan menganggap bahwa semua laki-laki adalah berengsek dan laki-laki juga sebaliknya. Imbasnya lagi, akan menjadikan pribadi mereka untuk membalaskan dendam ke semua orang yang notabene tidak semua mempunyai sifat seperti itu.

Sungguh miris bukan? kasus ini hampir mirip seperti dalam Film Joker, bahwa ada asumsi bahwa orang baik adalah orang jahat yang disakiti, padahal tidaklah seperti itu. Jika kita merupakan tulus untuk menjadi orang baik, maka kita akan terus selamanya berbuat kebaikan kepada siapapun tanpa memandang bulu meskipun berbagai macam hal telah dilakukan terhadap diri kita. Patut kita sadari, bahwa tidaklah semua orang bisa dinilai akibat kelakuan satu oknum. Jadilah pribadi yang profesional dan bijak dalam menilai apapun, kita tentunya sudah dewasa kan? tentunya kita tidak hanya sekedar ikut-ikutan terpengaruh kan?

Oleh sebab itu, penulis mengajak kepada seluruh pembaca untuk lebih bijak dalam membentuk pribadi kita agar tidak mudah terpengaruh dengan isu-isu yang bergeming di segala sektor, baik itu dunia nyata maupun dunia maya. Jadilah pribadi yang bisa memilah-milah dan menilai setiap sesuatu itu tidaklah sama. Omong-omong, kajian ini penulis dapatkan setelah melihat situasi terkini di dunia maya melalui amatan dari warung kopi sehingga keresahan ini dituangkan ke dalam tulisan. Jika ada yang ingin berbagi pendapat maka boleh disampaikan melalui media sosial Instagram penulis yaitu @sulthan_alfaraby. Salam milenial!
Share:
Komentar

Berita Terkini