MENYANDANG status sebagai mahasiswa, adalah
sebuah anugerah yang luar biasa dan tidak dapat dinikmati oleh semua orang di
dunia ini. Mungkin bagi sebagian orang, hal tersebut menjadi terhalang
dikarenakan beberapa faktor. Faktor-faktor yang menjadi ‘tembok penghalang’
untuk bisa melanjutkan pendidikan ke kampus-kampus impian bisa jadi dikarenakan
terhambatnya ekonomi dan jarak yang jauh (karena tinggal di pelosok daerah).
Namun, semangat untuk bisa berkuliah, haruslah tetap dikobarkan seiring
perkembangan dari waktu ke waktu. Jangan pula ketika sudah diterima di kampus
impian, maka semangat untuk berkuliah berubah sepenuhnya menjadi sesuatu hal
yang membosankan.
Ingat, bahwa ada ‘sejuta’ pasang bola mata di
dunia ini yang mengharapkan anaknya untuk melanjutkan pendidikan di kampus.
Tapi ketika sudah lulus atau diterima di kampus, tidak sedikit daripada
mahasiswa-mahasiswa yang merasa bahwa kuliah adalah aktifitas yang melelahkan serta
membosankan. Jika kita menilik lebih jauh terkait pengorbanan para orang tua
kita dalam mengantarkan anaknya menuju ‘gerbang pendidikan’, maka bisa kita
akui bahwa itu bukanlah sebuah perjalanan yang mulus. Ada hambatan dan juga
rintangan luar biasa dalam ‘mengais’ rezeki sehari-hari, agar anaknya bisa
tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh sebab itu,
marilah kita ucapkan ‘seribu’ rasa syukur dan terima kasih kepada orang tua
kita untuk sekarang, nanti dan selamanya.
Berbicara persoalan kampus, maka hal tersebut
bisa dikatakan sebagai ‘laboratorium’ peradaban yang mempunyai ribuan manusia yang
disebut sebagai “mahasiswa” di dalamnya. Ribuan mahasiswa di kampus, tentunya
memiliki cara pandang yang sangatlah beragam. Selain itu, berbagai kelembagaan
mahasiswa yang berasal dari internal dan eksternal kampus juga turut
berpatisipasi menghiasi seluruh ‘pojok-pojok’ kampus dan mempunyai beragam
pemikiran yang kritis dan dinamis. Bayangkan, kampus ternyata adalah sebuah
tempat yang akan menjadi ajang untuk berkontestasi dengan kerasnya melawan
seluruh pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda. Salah satu tantangan untuk bisa
berkontestasi ini nantinya, tentu akan sangat dirasakan oleh seorang mahasiswa
yang baru diterima di kampus.
Ketika kita menjadi seorang mahasiswa baru di
sebuah kampus, pastinya kita diwajibkan untuk mengikuti sebuah kegiatan yang
dinamakan sebagai Orientasi Pengenalan Kampus (OPK). Di dalam OPK ini, tentunya
terdapat banyak senior-senior yang menggiring mahasiswa baru agar lebih
mengenal kondisi kampusnya serta mengajarkan tata cara berpikir yang
berintelektual dan idealis sebagai modal utama seorang mahasiswa agar layak
disebut sebagai ‘agent of change’. Pastinya,
hal ini merupakan suatu keharusan yang memang dapat meningkatkan semangat dan
mentalitas mahasiswa baru untuk ke depannya. Salah satu yang dapat meningkatkan
semangat dan mentalitas seorang mahasiswa baru dalam OPK tersebut, adalah
dengan cara mengikuti permainan kekompakan, belajar cara berorasi, pengetesan
mental dengan cara bernyanyi dan juga diharuskan untuk menghafal nama-nama
senior sebagai upaya pembentukan daya ingat ketika sudah berkuliah nantinya.
Serta, masih banyak lagi agenda-agenda peningkatan semangat dan mentalitas yang
dibuat oleh senior-senior di dalam OPK yang harus diikuti oleh mahasiswa baru.
Hal yang tidak bisa dilewatkan selama
mengikuti OPK, adalah terkait rekomendasi maupun ‘doktrinisasi’ untuk masuk ke
dalam suatu organisasi. Bisa jadi, organisasi internal maupun eksternal kampus.
Biasanya, hal ini akan membantu kita lebih berani untuk berproses di kampus dan
mengasah ranah mentalitas maupun intelektualitas. Yang pasti, masuk organisasi
merupakan salah satu jalan terbaik untuk kita mengembangkan potensi ke
depannya. Tapi, di balik itu jangan pernah lupakan bahwa tugas-tugas di
perkuliahan merupakan sesuatu hal yang tidak boleh tertinggalkan. Apalagi, jika
berkuliah sampai 7 tahun lamanya dan orang tua merasa lelah untuk membiayai
kita. Bisa-bisa, kita akan menjadi seorang anak yang durhaka kepada orang tua
dan mengkhianati amanah yang sudah lama dititipkan oleh mereka.
Kemudian, ada juga yang unik dan menarik
untuk dibahas terkait ranah keorganisasian ini, salah satunya adalah tentang
persoalan senior-senior atau yang biasa disebut sebagai “kanda”. Nah, kata “kanda”
merupakan sebutan untuk senior yang bermakna sebagai “abang”. Biasanya,
pemanggilan seseorang menggunakan kata “kanda” adalah hal yang biasa dan kerap
terjadi di ranah kemahasiswaan sebagai upaya untuk menghormati senior-senior
atau orang yang “ilmunya lebih tinggi”, konon katanya. Namun, asal muasal kata
“kanda” masih belum diketahui secara pasti dan sudah menjadi sapaan yang
‘mendarah daging’ dalam ruang lingkup junior dan senior ketika sedang
berdiskusi atau ketika saling bertemu. Tak bisa kita pungkiri, penyebutan
“kanda” untuk orang lain yang lebih tua daripada kita merupakan sebuah bentuk kesopanan.
Perlu untuk diketahui, bahwasanya tidak semua
kanda itu pro terhadap kemajuan juniornya. Ada juga, oknum-oknum kanda yang
malah bertindak ‘cabul’ terhadap junior. Oknum-oknum kanda yang melakukan
tindakan ‘pencabulan’ ini, biasanya menggunakan trik memanipulasi keadaan
melalui birahi-birahi kekuasaannya. Misalnya, ketika seorang junior ingin mencalonkan
sebagai seorang ketua di sebuah lembaga, maka hal tersebut mungkin
dihalang-halangi dengan halus oleh kandanya dengan mempermasalahkan
“kepantasan” atau “kelayakan” salah satu juniornya. Padahal, tidak menutup
kemungkinan kejadian tersebut merupakan cara ‘cabul’ daripada kanda tersebut
karena mempunyai kepentingan dalam lingkaran kekuasaan yang terselubung di
balik itu. Sebut saja, misalnya kepentingan pada lawan politik atau mendukung
penuh lawan politik juniornya yang juga sama-sama ingin mencalonkan sebagai
ketua lembaga.
Dalam beberapa kasus yang telah terjadi di
ranah kampus, maka kejadian tadi merupakan sebuah kebenaran yang bukan lagi
menjadi rahasia di kalangan mahasiwa organisatoris. Menilik daripada kacamata
demokrasi, maka sudah sepantasnya semua orang bisa berkontestasi dalam
perpolitikan maupun kesempatan untuk berekspresi atau berpendapat. Kanda-kanda
dalam ruang lingkup senior atau sudah alumni tidak berhak untuk mengintervensi
dan menghalangi juniornya dengan alasan “kepantasan” maupun “kelayakan”.
Memangnya, tolak ukur “kepantasan” dan “kelayakan” untuk menjadi ketua lembaga
itu seperti apa? Apakah berwibawa? apakah mempunyai kenalan yang banyak? apakah mempunyai uang yang berlimpah? Atau malah harus berpakaian rapi dan mandi
10 kali dalam sehari? “Tolong, saya tidak sedang bercanda, kanda”, merupakan
kalimat idealisme sederhana yang paling
tepat untuk dilontarkan kepada para kanda-kanda ‘cabul’ tersebut, agar mereka cepat
tersadar dan kembali ke jalan yang benar.
Intinya, jangan pernah menjadikan
junior-junior sebagai sebuah alat bermanfaat untuk memuaskan hasrat birahi
kekuasaan dengan menciptakan tolak ukur kepantasan seperti tadi. Karena pada
dasarnya, setiap manusia mempunyai kesempatan yang sama dalam hal
berkontestasi. Tidak mungkin, misalnya kita harus menyamakan antara seekor
monyet dan seekor ikan dengan sebuah tolak ukur kesuksesan adalah harus bisa
memanjat sebuah pohon. Dalam hal ini, pastinya monyet akan menang dan ikan akan
kalah. Namun, jika kita membalikkan keadaan ini yang di mana monyet diharuskan
untuk berenang melawan ikan, pastinya ikan yang akan menang. Dari kejadian
tersebut, bisa disimpulkan bahwa tolak ukur kesuksesan manusia berbeda-beda dan
tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan seseorang itu “pantas” atau “tidak
pantas” dalam berkontestasi dalam kehidupan.
Selain itu, seorang junior yang memiliki jiwa
dengan semangat ‘militansi’ tinggi dalam berkontestasi, jangan pernah takut dan
panik dengan intervensi dari senior-senior atau kanda-kanda selama mereka
(kanda-kanda) tidak memberimu ‘stok cadangan oksigen’ di dunia ini. Cobalah mulai
sekarang, untuk menguatkan pemikiran yang idealisme untuk terus berproses ke
depan. Jangan pernah berpikir, dengan tidak adanya dukungan daripada
kanda-kanda dan alumni maka potensi kita untuk bisa berkontestasi akan gagal.
Ingat, kita adalah calon-calon pemimpin di masa depan, yang tidak mau jika diri
kita menjadi ‘boneka’ daripada kanda-kanda
yang tidak bertanggung jawab tersebut. Jika kita sudah menjadi ‘boneka’,
maka hal tersebut akan membahayakan perputaran ‘roda organisasi’ yang akan kita
pimpin untuk ke depannya.
Jika kita sudah berketergantungan penuh sejak awal dan merasa pesimis dengan kemampuan diri sendiri, maka tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan semakin membuyarkan semangat kita dalam berkeinginan untuk berkontestasi ke depannya. Karena pada dasarnya, yang mengetahui kemampuan dan kesanggupan kita untuk berkontestasi itu adalah diri kita sendiri dan bukan malah mempertanyakan tolak ukur kepantasan diri kita kepada kanda-kanda. Terkadang, hal ini merupakan problematika para mahasiswa dan menjadi pembatas ruang gerak untuk terus berjalan ke depan. Sudah saatnya, pemikiran semacam ini haruslah dihapuskan dari dalam diri kita dan lakukan gebrakan kemandirian yang baru dan tingkatkan optimisme dalam diri.
Tidak bisa kita pungkiri, nasihat-nasihat
dari orang-orang terdahulu memanglah sangat penting untuk kita rangkum dan
dengarkan. Hal tersebut, haruslah cukup sekedar menjadi ‘batu loncatan’ untuk
kita berproses ke depan. Nasihat-nasihat yang kerap dilontarkan kanda-kanda
kita, hanya menjadi sebuah pertimbangan-pertimbangan dan jangan jadikan itu
sebuah ‘peta perjalanan’ sepenuhnya yang menggerakkan kaki kita untuk mengikuti
alur yang kanda-kanda berikan. Ingat, setiap kesuksesan seseorang itu
berbeda-beda Kanda-kanda mungkin sering berteori serta mengisahkan proses
perjalanannya, dikarenakan hal tersebut sudah menjadi bukti yang kongkrit dari
dirinya agar bisa berbagi bersama orang lain. Namun, kita kembali lagi
berasumsi bahwa hal tersebut adalah teori yang hanya berlaku untuk dirinya dan
mungkin tidak akan berlaku bagi diri kita. Kita harus yakin dan percaya, bahwa
setiap orang tentunya mempunyai pengalaman yang berbeda-beda.
Dikarenakan setiap orang mempunyai pengalaman dan keadaan yang berbeda-beda, maka mari kita menilik kembali kisah seekor monyet yang bisa memanjat pohon dan ikan yang bisa berenang. Terakhir, semoga diri kita bisa menjadi pribadi yang optimisme, percaya akan kemampuan diri sendiri dan jangan lupa terus berdoa dan merangkum nasihat-nasihat baik yang dilontarkan oleh berbagai kalangan.