Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh diprioritaskan pada Bidang Muamalah

Laporan: Tim SA Center
OLEH: Kasmaya
Mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat Uin Ar-Raniry Banda Aceh, Jurusan Sosiologi Agama

BERBICARA tentang syariat Islam di Aceh terus menjadi polimik dalam masyarakat setiap tahunnya, seperti yang kita ketahui Aceh yang dari dulu telah dikenal banyak orang sebagai masyarakat bekarakter islam dan dikedepankan adat,   seperti isu baru-baru ini konversi Bank konvensional ke Bank Syariah. Isu tersebut menjadi perbincangan hangat dan perdebatan dikalangan para akademisi dan praktisi. 

Ditambah lagi kebijakan Bupati atau Wali Kota setiap daerah yang berbeda-beda dalam mengedepankan setiap pelaksanaan syariat Islam, seperti kebijakan Wali Kota Lhoksemawe mewajibkan perempuan tidak boleh ngakang mengendrai sepeda motor. Baru-baru ini Bupati Bireun mengeluarkan kebijakan mewajibkan ASN (Aparatur Sipil Negara) menggunakan sarung pada hari Jumat sebagai bentuk pelaksanaan syariat Islam. 

Bila kita kaji secara seksama, Pelaksanaan syariat Islam di Aceh hari ini lebih dikedepankan kepada jinayat (hukuman) dan prilaku individual secara person dalam kehidupan sehari-hari. Sementara dalam pelaksanaan syariat Islam dalam bidang muamalah (ekonomi) seperti bidang zakat, jual beli, gadai, ih-tikar, Valas, sogok, fee proyek dan lain-lain terkesan tidak menjadi prioritas. Hal ini seperti tidak mau dibahas dikalangan para elit pemerintahan, DPRA, Ormas dan lain-lain. 

Kita tau bersama bahwa point disebut  diatas sebagian dari dosa besar dan sangat  membuat kebanyakan orang menderita dan merugikan orang banyak. Membuat orang orang terpedaya akan dosa sehingga banyak orang yang terdhalimi dari perbuatan tersebut, yang membuat mereka semakin terjerat dalam bidang kemiskinan dan kerugian bahkan perpecahan antara sesama. 

Diprioritaskan 
Kita tidak menyalahkan pelaksanaan  syariat Islam yang ada hari ini, namun pelaksanaan dalam bidang muamalah yang harus diprioritas justru luput dan tidak menjadi perbincangan hangat di kalangan para elit untuk diamandemen kan. 

Muamalah secara bahasa artinya, "muamalah" berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Secara Istilah muamalah yaitu suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berkaitan atau berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan muamalah diantaranya adalah jual beli, sewa menyewa utang piutang, pinjam meminjam dan lain sebagainya.

Dilihat dari konsepsi makna muamalah sendiri sangat jelas hubungan dengan aturan yang berkaitan antar manusia yang satu dengan manusia yang lain yang mana bila dilanggar akan berdosa dan merugikan orang banyak seperti riba, tadlis, suap, dan lain-lain. 

Syariat Islam di Aceh semestinya penekanan lebih pada bidang muamalah, disamping menjauh dari dosa serta memberikan dampak positif besar dalam bidang ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat banyak demi keberlangsungan hidup tentram dan damai berkepanjangan dan jauh dari perpecahan umat. 

Misalkan pada kasus jual beli, bila kedapatan adanya aturan (qanun) pelarangan riba yang jelas dengan diberikan punisment (hukuman) bagi pelaku yang melanggar baik berupa cambuk atau penjara bahkan ganti rugi maka ini sangat membantu pedagang yang tidak didhalimi oleh para rentenir atau pihak perbankan. 

Pada masa Saidina Umar Radiallahu Anhu setiap hari selalu mengawasi pasar, bila ada orang-orang kedapatan melakukan curang seperti riba, qarar dan lain-lain maka diperingatkan beberapa kali, bila tidak dijalankan atau dipatuhi maka akan dikeluarkan dari pasar tersebut. 

Disisi lain pada pembayaran zakat, ini juga memberikan manfaat bagi masyarakat terutama delapan asnaf (fakir, miskin, amil, mualaf, riqab-hamba sahaya, gharim-orang yang terlilit utang, fisabillillah, dan ibnu sabil-orang yang sedang dalam perjalanan. Tapi dalam pelaksanaan di Aceh tidak ada aturan (qanun) yang mengatur dengan jelas, hanya sebatas pada tingkat kesadaran orang masing masing. Padahal, membayar zakat itu hukum nya wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat syarat zakat. 

Dalam sebuah kisah pada masa Khulafaur Rasyidin dimana Abu Bakar Radiallahu Anhu memerangi orang orang yang menolak membayar zakat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis ;

Dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu, ia menuturkan Umar bin al-Khaththab Radhiallahu'anhu bertanya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu'anhu: "Bagaimana bisa engkau memerangi orang-orang itu, padahal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda: 'Aku diperintahkan memerangi orang-orang sampai mereka mengucapkan syahadat La Ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Apabila orang-orang itu telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terjaga dariku, kecuali jika mereka tidak menjaga hak Islam".

Abu Bakar Radhiallahu'anhu menjawab: "Demi Allah, seandainya mereka enggan memberikan 'anaq-dalam riwayat lain: 'iqal- yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah, Shallallahu 'Alaihi Wasallam, niscaya aku akan memerangi mereka karena keengganan itu. Sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang memisahkan antara shalat dan zakat."

Pada kesempatan lain, Umar Radhiallahu'anhu menyatakan: "Kekukuhan Abu Bakar itu membuatku yakin ia berpendapat demikian karena Allah Azza Wa Jalla telah meneguhkan hatinya untuk melakukan penyerangan. Kemudian aku pun sadar itulah yang benar." (HR. Bukhari dan Muslim).

Masih banyak lagi kasus yang lain yang harus diperiortitaskan dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh, seperti mencuri, suap-menyuap, fee proyek, gadai dan lain-lain. 

Diamandemenkan
Menciptakan sebuah kebijakan tentunya perlu qanun dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Setiap perbuatan yang berhubungan dengan bidang muamalah harus diamandemen kan, agar pelaksanaan di lapangan berjalan sesuai aturan dengan maksimal dan semestinya. 

DPRA sebagai lembaga legislatif harus menyusun qanun syariat Islam dengan menambah point-point bidang muamalah sebagai bidang prioritas dalam menjalankan syariat Islam di Aceh. 

Bila qanun sudah sempurna maka dibutuhkan alat untuk kelengkapan dalam menjalan aturan tersebut, atau lebih dikenal dengan aparatur hukum. Setiap aparatur hukum harus memahami dengan benar rambu-rambu aturan agar pelaksanaan di lapangan tidak terjadi kekeliruan dalam penyelidikan. Mereka harus menjadi contoh terdepan kepada masyarakat terutamnya.

Kita ambil contoh pada kasus jual beli, petugas yang berkenaan harus bisa memahami betul dengan benar pelanggaran dalam transaksi jual beli seperti riba, qarar, tadlis dan lain-lain. Apabila ada yang tertangkap tangan atau  dari laporan masyarakat, maka petugas melakukan penyelidikan dan penyedikan sebelum diserahkan kepada Mahkamah syariah untuk disidangkan. Jika pelaku terbukti melanggar aturan dalam jual beli setelah disidangkan oleh lembaga Mahkamah syariah, maka pihaknya akan memberikan punisment (hukuman) baik berupa denda, meninggal tempat jual beli, atau cambuk sebagaimana aturan yang telah diamandemenkan yang seseuai dengan karakter  adat dan kebudayan masyarakat Aceh. 

Bila pelaksanaan syariat Islam di Aceh dikedapankan pada kasus yang merugikan orang banyak, ini akan memberikan dampak positif yang sangat besar baik berupa pengentasan terhadap kemiskinan, meminimalisir kriminal, dan mencegah perilaku asusila akibat faktor ekonomi yang semakin menjerit tiap harinya serta menjauhkan orang orang dari kekufuran. Dengan demikian, tujuan dari pelaksaan syariat islam di Aceh tercapai sesuai dengan konsep maslahah bagi umat manusia. Wallahualam a'lam Bishawab.
Share:
Komentar

Berita Terkini