(Foto: Sulthan Alfaraby, Dok. Liputan 23)
Oleh: Sulthan Alfaraby, Mahasiswa Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Aceh
SEPERTI yang pernah dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada hari Kamis, 5 November 2020 serta mengutip pada berita kompas.com, yaitu jumlah pengangguran periode Agustus 2020 mengalami peningkatan sebanyak 2,67 juta orang. Akibat peningkatan tersebut, maka jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur adalah sebanyak 9,77 juta orang. Berita tersebut juga mengabarkan bahwa Kepala BPS menjelaskan jika pandemi Covid-19 membuat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mengalami kenaikan dari 5,23 persen menjadi 7,07 persen.
Melihat hal itu, bisa disimpulkan dari segi pemikiran kita bahwa dengan tingginya angka pengangguran di Indonesia tentunya akan membuat Indonesia menjadi negara yang sulit untuk maju dan bersaing dengan negara lain. Pengangguran yang tinggi juga merupakan bukti nyata bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang harus diperhatikan, baik dari segi peningkatan kemampuan atau skill maupun teori. Masalah ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena dengan tingginya angka pengangguran pula maka akan berdampak kepada banyak hal, sehingga akan timbul masalah baru yang lebih besar dan berbahaya. Perampokan, pencurian dan perbuatan kriminal serupa yang merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan akibat masalah ekonomi. Apalagi, seluruh rakyat Indonesia pada saat ini tengah berjuang melawan keterpurukan akibat pandemi.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Suparji Ahmad, pada situs uai.ac.id dalam Rubik Dosen, beliau menilai bahwa akibat banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) pasca penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama masa pandemi COVID-19 di Indonesia telah menjadikan masyarakat menjadi nekat untuk melakukan kejahatan, apalagi untuk memenuhi kebutuhan pokok di tengah keterpurukan ekonomi.
Melihat dari sisi tersebut, memang ada benarnya jika banyak orang melakukan tindakan kriminal adalah karena faktor ekonomi. Pada opini saya yang berjudul "Indonesia Punya KAMI, Aceh Punya APPA? Yang viral di kalangan netizen Aceh beberapa waktu sebelumnya, saya juga telah menguraikan bahwa permasalahan ekonomi, merupakan faktor pendukung dalam menciptakan masalah baru. Tentunya, hal ini bukan semata-mata menjadi tugas pemerintah melainkan juga menjadi tugas pemuda Indonesia yang mempunyai tekad dan semangat yang tinggi. Harapan kita semoga ini bukan sekedar 'cakologi' atau basa-basi, melainkan kita akan kembali menjabarkan beberapa solusi dan merealisasikan secara bersinergi demi masa depan republik ini. Sebelum kita memikirkan solusi, ada baiknya kita ketahui dahulu faktor-faktor yang berpotensi penyebab 'tsunami' pengangguran ini.
Jumlah Lapangan Kerja Tidak Memadai
Pertama, jumlah lapangan kerja yang tidak memadai adalah dimana tenaga kerja menjadi membludak sedangkan lapangan kerja sedikit. Hal ini juga disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam bersaing ketat dalam dunia kerja, tentunya akan membuat individu yang tidak mampu bersaing menjadi tersingkirkan atau tergantikan. Selain itu, jumlah penduduk di republik ini yang terus-terusan mengalami pertumbuhan merupakan salah satu pendukung masalah keterbatasan lapangan kerja yang terjadi saat ini.
Kemampuan yang Tidak Memadai
Kedua, kemampuan diri atau softskill merupakan suatu keharusan pada setiap individu untuk memilikinya. Softskill tersebut misalnya mampu mengaplikasikan teknologi untuk mempermudah pekerjaan sehari-hari. Apalagi, di era sekarang ini hampir semuanya sudah menggunakan teknologi canggih, jika memang masih ada individu yang kurang menguasai penggunaan teknologi saat ini, maka dikhawatirkan akan tersingkirkan dalam dunia kerja. Jika kita jeli dalam melihat persyaratan pada beberapa lowongan kerja saat ini, bahwa ada yang mewajibkan individu memiliki ponsel atau mampu mengaplikasikan teknologi tertentu demi kelancaran pekerjaan. Kemudian, mungkin di negara-negara lain banyak pekerjaan sudah dikerjakan oleh robot, hal ini tentunya makin menambah antrian panjang pengangguran. Namun, pada konteks pembahasan kita ini tidak usah terlalu muluk-muluk dan jauh, karena kita saat ini cukup berbicara dalam ruang lingkup Indonesia.
Masalah Ekonomi
Ketiga, jika bicara masalah ekonomi, maka ini tidak akan ada ujungnya jika tidak segera dibenahi secara kompleks dan bersinergi. Faktor ekonomi adalah pendukung antrian panjang pengangguran tersebut. Bayangkan saja, jika individu tidak mampu melanjutkan pendidikan, baik itu pendidikan sekolah, kuliah maupun profesi akibat biaya yang tinggi, maka bisa kita simpulkan bahwa hal tersebut adalah salah satu faktor pemicu pengangguran. Jika individu mempunyai kesempatan untuk menempuh pendidikan dan punya kemampuan sesuai profesi, maka tentunya individu tersebut berpotensi untuk berwirausaha dan membuka lapangan kerja baru untuk menyerap tenaga kerja. Tentunya hal ini bisa mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Keempat, PHK merupakan faktor yang tidak bisa dielakkan, karena dengan adanya PHK maka sudah pasti akan menambah jumlah pengangguran. Dalam konteks ini, memang pemerintah atau pihak perusahaan harus mencari solusi 'kongkrit', meskipun tidak sekongkrit yang diharapkan. Minimal, perusahaan yang menjadi pelaku PHK tidak menjadi sasaran demonstrasi yang disayangkan nantinya akan berpotensi timbulnya efek negatif terhadap perusahaan itu sendiri. Apalagi, jika PHK dilakukan secara besar-besaran dan upah yang diberikan selama bekerja kurang sesuai.
Terlalu Gengsi dalam Mencari Pekerjaan
Kelima, gengsi adalah salah satu faktor kenapa pengangguran hari ini sulit berkurang. Gengsi ini memang sulit dihilangkan, apalagi di kalangan kaum milenial yang menyukai hal-hal praktis dan 'eksklusif'. Jika memang lapangan pekerjaan tidak cocok dengan keinginan kita namun kita mampu menjalaninya, kenapa harus ditolak? Contoh kecilnya adalah menjadi pekerja cuci pakaian atau yang disebut laundry. Setahu saya, upah yang diberikan untuk pekerja laundry dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, yang terpenting masih bisa makan 3 kali sehari dan mencukupi kebutuhan lain. Minimal, kita tidak menjadi 'beban keluarga' lagi, yang dalam konteks ini juga membuat kita menjadi mandiri dan terlatih dalam dunia kerja. Selain laundry, masih banyak pekerjaan lain yang lebih cocok untuk dilamar, misalnya pada usaha fotocopy. Apalagi, jika calon pelamar memiliki kemampuan atau softskill dalam desain grafis yang cocok untuk dibuktikan pada perusahaan berbasis teknologi digital.
Tidak Punya 'Orang Dalam'
Keenam, aneh tapi nyata namun ini yang terjadi pada hari ini! Tidak punya 'orang dalam' yang merupakan analogi dari kedekatan dengan pihak perusahaan, baik secara ikatan kekeluargaan maupun ikatan emosional merupakan faktor yang menyebabkan pengangguran. Kebanyakan yang saya alami dan saya lihat selama ini, bahwa banyak yang menerima pekerja berdasarkan kedekatan pelamar pekerjaan dengan pihak perusahaan, meskipun mempunyai kemampuan yang 'biasa saja' jika dibandingkan dengan pelamar pekerjaan lain yang mempunyai kemampuan lebih dari itu. Namun sayangnya, jika kedekatan sudah menjadi faktor utama diterima atau tidaknya seorang pelamar dalam perusahaan, maka tidak ada yang bisa diperbuat selain terus berusaha dan juga jangan lupa untuk menjalin relasi serta membangun jaringan seluas-luasnya. Masuk ke organisasi adalah solusi dalam menciptakan relasi, namun jika hal tersebut tidak menimbulkan manfaat sedikit pun bagi diri kita, maka tidak perlu masuk organisasi, karena akan buang-buang waktu berharga kita yang sejatinya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih positif lainnya.
Beberapa faktor tersebut merupakan potensi penyebab pengangguran yang menimbulkan keprihatinan kita pada hari ini. Namun sebagai anak muda, kita tentunya harus terus memberikan solusi kepada negara untuk bertindak cepat dan akurat dalam menyelesaikan masalah ini. Salah satu solusi yang dirasa kongkrit adalah dengan Sertifikasi Profesi (SP). SP telah banyak dibuat oleh lembaga-lembaga legal yang tentunya bekerjasama dengan negara, yang dimana ini adalah suatu keputusan yang diberikan terhadap seseorang untuk menyatakan bahwa orang tersebut mampu melakukan suatu pekerjaan tertentu. Sederhananya, ini seperti sertifikat pengakuan yang diberikan bahwa kita mempunyai kemampuan atau pernah punya pengalaman kerja. Apalagi, saat ini banyak lowongan pekerjaan yang memberikan syarat khusus bahwa setiap calon pelamar harus memiliki pengalaman minimal 1 tahun atau minimal beberapa tahun pengalaman kerja. Setidaknya, masyarakat terkhususnya anak-anak muda yang baru saja menempuh studi, bisa terakui kemampuannya di dunia kerja meskipun belum pernah bekerja. Bahkan, melalui kemampuan tersebut, anak muda bisa membangun usaha sendiri dan membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Jika berbicara modal, maka hal tersebut adalah relatif, yang terpenting adalah mau berusaha. Karena jika punya modal banyak sekalipun jika hobi nongkrong di warung kopi 24 jam atau memilih tidur dan malas mengembangkan potensi yang ada, maka hal tersebut juga akhirnya akan sia-sia. Dalam konteks ini, saya ingin menyarankan sedikit kepada seluruh paguyuban selaku wadah persaudaraan di daerah, organisasi kepemudaan dan sejenisnya agar bersinergi dalam mengadakan sertifikasi maupun pelatihan kerja. Tentunya hal ini harus dibangun dari daerah-daerah terlebih dahulu, atau lebih baik lagi jika daerah tersebut merupakan daerah yang banyak sekali penganggurannya. Oleh sebab itu, dengan adanya sinergisitas ini, maka bukan hal yang mustahil jika Indonesia bisa mengurangi angka pengangguran yang tinggi.