Mustafa Abu Bakar Aminkan Pendapat Mantan Wagub Muhammad Nazar.

Laporan: Azhar author photo
Mustafa Abu Bakar Aminkan Pendapat Mantan Wagub Muhammad Nazar
Mantan Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar bersama Mustafa Abu Bakar, 14/3/2021.Foto:Istimewa

Liputan23.com | Jakarta – Ikatan Mahasiswa Paska Sarjana (IMPAS) bekerjasama dengan Forum Mahasiwa Aceh Dunia (FORMAD) yang berbasis di Jakarta mengadakan dialog eklusif, mengangkat topik yang amat penting, Mencari Solusi Pembangunan Aceh Berkelanjutan, yang diorganisir secara daring online by zoom dari Jakarta, kemarin, Sabtu, 14/03/2021.

Acara tersebut dikemas dalam bentuk Forum Grup Discussion (FGD) yang melibatkan beberapa pemateri dan peserta aktif secara jarak jauh. Ada tiga pemateri untuk topik tersebut, yaitu Dr. Ir. H. Mustafa Abu Bakar, mantan Meneg BUMN, Prof. Dr. Afridar, SE, M. Si Rektor UNIKI dan Dr. Dhafi Iskandar, Dewan Pakar FORMAD.

Sementara itu mantan Wakil Gubernur (Wagub) Aceh H. Muhammad Nazar, praktisi keuangan Teuku Umar Laksamana dan puluhan peserta lainnya dari dalam dan luar negeri juga ikut aktif sepanjang acara. Secara umum mereka adalah tokoh politik, mantan pejabat publik, birokrat, kalangan akademisi, pengamat, aktifis, pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan para wartawan.

Dalam presentasi pertama, Mustafa Abu Bakar yang pernah menjadi Pj gubernur Aceh 2005-2006, tampil dengan mengisahkan beberapa pengalamannya menangani Aceh hingga melaksanakan Pemilukada langsung pertama sesuai amanah undang-undang ketika usia damai masih berbenih usai konflik panjang di Aceh.

Tokoh nasional asal Aceh yang kini menjadi komisaris bank Bukopin itu menyebut, Aceh memiliki potensi yang luar biasa, mulai dari alam hingga sumber daya manusia. Ia bangga dengan hal itu, sekaligus ia menyatakan prihatin.

“Sebagai orang Aceh saya bangga kita memiliki sumber daya manusia dan sumber alam yang cukup kuat. Tetapi saya juga prihatin ketika mendengar hasil pembangunan dan kemiskinan yang belakangan menjadi sorotan miris banyak pihak,” katanya menanggapi beberapa pernyataan dan pertanyaan peserta.

Sementara itu, Prof. Dr. Afridar yang pernah memimpin Unimal Lhokseumawe selama dua periode mempresentasikan beberapa konsep pembangunan. “Kita harus membangun Aceh secara terkonsep dan tidak mungkin seluruhnya lepas dari teori ilmiah,” ujarnya.

Selain kedua tokoh itu, tampil pula Dr. Dhafi Iskandar alumni salah satu universitas di Paris, Perancis dengan narasi pembangunan Aceh yang tidak mungkin lepas dari dunia dan sistim teknologi informasi digital.

Diskusi nampak semakin menarik dan merangsang banyak pertanyaan serta respon setelah mantan wagub periode 2007-2012, Muhammad Nazar menyampaikan pendapatnya yang diminta untuk menanggapi apa yang disampaikan para pemateri sebelumnya.

Menurut Nazar yang sangat berperan dalam kesuksesan pemerintahan Aceh periode 2007-2012 itu, kesuksesan dan pembangunan berkelanjutan itu akan terjadi jika ada konsistensi kebijakan, perencanaan yang baik, sumber daya manusia dan pemerintahan yang kuat sekaligus baik.

Respon Nazar tersebut diamini dan diulang kembali oleh Mustafa Abu Bakar dan para pemateri serta peserta yang ikut memberikan pemikiran mereka di FGD virtual tersebut. “Benar sekali apa yang disampaikan Adinda wagub Nazar terkait pembangunan berkelanjutan dari segi konsepsi, implementasi dan memang wajib adanya konsistensi kebijakan siapapun pemimpinnya di Aceh,” akui Mustafa mantan Ka-Bulog dan Meneg BUMN itu.

Usai ketiga pembicara tersebut menyampaikan presentasi mereka, mantan Wagub Aceh, Muhammad Nazar yang namanya sedang diharapkan publik secara luas untuk mengisi sisa jabatan wagub Aceh mendampingi dan membantu gubernur Nova Iriansyah, diminta secara khusus oleh pelaksana acara melalui moderator Andri Munazar untuk memberikan responnya.

Tokoh aktifis gerakan sipil Aceh yang kini memimpin Partai SIRA itu menjelaskan, sesuai konsepsi dan tuntutan setiap manusia yang menjadi warga di berbagai negara, bahwa pembangunan berkelanjutan itu bukan hanya agenda Aceh dan Indonesia. Itu telah menjadi program global yang ditetapkan serta didorong oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Pembangunan berkelanjutan itu harus memenuhi kebutuhan hidup masa kini tanpa meninggalkan masa depan atau generasi masa depan. Kualitas hidup menjadi hal yang wajib dipenuhi. Ruang lingkup tujuan kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial hingga perlindungan lingkungan dengan pendekatan komprehensif merupakan hal-hal utama yang harus mencapai target yang diharapkan. Bahkan setiap dampak atau potensi dampak negatif atau positif yang muncul harus dapat direspon cepat dan tepat,” jelasnya.

Menurut tokoh yang sering disebut wagub senior itu, dalam pembangunan berkelanjutan strategi ekonomi bagi banyak negara dan bangsa di dunia memang menjadi prioritas untuk mencapai kesejahteraan ekonomi tetapi tetap tidak boleh merusak lingkungan. Hasil sumber daya alam itu akan habis dan sungguh rugi jika tak menguntungkan daerah penghasil serta rakyatnya. Merusak alam dan lingkungan berarti modal kelanjutan pembangunan menjadi hilang.

“Konsepsi global tentang pembangunan berkelanjutan ini cocok juga dengan kearifan sosial di Aceh yang berlaku sejak dulu, meunyo pruet ka troe, teumpat tinggai ka na, keundaraan ngen jak ka teuseudia, hana udep lam seupôt le, peundidikan meurata, nafkah keuluarga lancar maka itu menjadi standar awal serta amat sangat penting dalam mencapai kualitas hidup. Jadi konsepsi pembangunan berkelanjutan yang dibangun dunia secara global memang cocok dengan kearifan lokal sosial di Aceh juga ,” ujarnya.

Ia juga menyebut, sebenarnya konsep dan strategi pembangunan Aceh yang komprehensif sudah dibuat pada masa dirinya dan Irwandi Yusuf memimpin Aceh 2007-2012, termasuk rencana strategis pendidikan Aceh jangka pendek hingga jangka panjang yang mendapat penghargaan terbaik nasional.

“Waktu itu kita menggunakan berbagai masukan termasuk dari beberapa staf ahli dari donor internasional, selain yang sudah kita buat sendiri terlebih dahulu sebagai visi misi pemerintahan Aceh ketika kita kampanye untuk pemenangan di Pemilukada tahun 2006, bagaimana menjaga damai, mengisinya hingga membangun Aceh yang dapat dirasakan rakyat maupun membangun peradaban untuk jangka panjang,” ungkapnya.

Nazar membeberkan, jika pada masa itu Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh diakui nasional dan sangat bagus. “Sayangnya itu hanya terlaksana beberapa tahun secara utuh selama Irwandi-Nazar mempin Aceh.

Tetapi pada masa pemerintahan berikutnya, karena dosis politik tak terkontrol dan berlebihan, RPJP sebagai design pembangunan untuk dua puluh tahun dan program-program strategis banyak terpotong padahal jumlah anggaran jauh lebih besar. Sehingga ada banyak hal yang semestinya sudah terbangun pada masa pemerintahan Aceh periode 2012-2017 justru tidak terjadi dan mau tida mau sebagian besar peogram strategis Aceh harus kembali dimulai lagi pada masa pemerintahan 2017-2022,” jelasnya lagi.

Menurutnya, sejauh rancangan pembangunan tidak berjalan dan tidak ada konsistensi kebijakan, atau jika setiap pemerintahan baru terpilih selalu merubah hal-hal yang strategis atau tidak konsisten dengan RPJP maka keadaan tak akan berubah lebih baik secara signifikan meski jumlah anggaran sangat besar.

Justru kecenderungan program berorientasi proyek berbenefit jangka pendek untuk melayani kelompok atau pemegang kapital tertentu akan muncul.

Nazar meneruskan lagi, hal seperti itu termasuk yang menjadi penyebab sulitnya mengentaskan kemiskinan dan tidak mudah memperbaiki kualitas hidup. Bahkan lingkungan ikut rusak ketika keinginan profit jangka pendek memanfaatkan dana negara tak terawasi. Masyarakat juga pada saat yang sama terpaksa merusak alam. Otomatis jangankan mencapai kesuksesan pembangunan berkelanjutan, justru yang muncul adalah ikut mendestruksi yang telah ada, sengaja atau tidak.

Jika demikian situasinya, “apa yang akan terjadi adalah bukan pembangunan berkelanjutan tetapi berpotensi terjadi konflik berkelanjutan,” Nazar mengingatkan.

Pendapat Nazar itu ikut diulang-ulang lagi dan diaminkan Mustafa Abu Bakar, dimana konsistensi kebijakan dan konsepsi pembangunan memang harus segera ditata kembali di Aceh. Nazar dan Mustafa Abu Bakar serta sejumlah peserta juga sepakat jika pembangunan di Aceh mesti dikelola oleh pemerintah yang berkemampuan, memiliki SDM yang kuat dan kultur yang baik. Perubahan kultur sosial dan birokrasi untuk merubah keadaan pembangunan yang lebih baik juga ikut disinggung tokoh SIRA itu ketika menyampaikan pendapatnya di FGD itu.

Usai acara, Ketua IMPAS, Yunizar, M. Si menyampaikan apresiasi kepada seluruh pemateri dan peserta yang telah mengkontribusikan pemikiran-pemikiran mereka untuk perbaikan pembangunan di Aceh. Birokrat muda yang berlatar belakang aktifis itu berjanji akan melanjutkan kegiatan yang sama dengan topik-topik berbeda serta rekomendasinya akan disampaikan secepatnya kepada pihak pemerintahan di Aceh.()

Share:
Komentar

Berita Terkini