IKHTIAR PEMERINTAHAN ACEH DALAM MEMPERTAHANKAN OTONOMI KHUSUS

Laporan: Tim SA Center

IKHTIAR PEMERINTAHAN ACEH DALAM MEMPERTAHANKAN OTONOMI KHUSUS 
Oleh : Nurhasanatun 
(Ilmu Pemerintah,  FISIP UNSYIAH)

Politik  lokal di Aceh tidak telepas dari isu terhangat yang kini sedang diperbicangkan baik konteks lokal dan nasional ditengah masyarakat saat ini yakni permasalahan berakhirnya otonomi khusus provinsi Aceh pada tahun 2027, yang membuat pemerintah harus benar-benar bijak serta was-was dalam menggunakan dan mengelola Otsus dengan efisien di periode-periode terakhir. Pemerintah Aceh yang hampir secara garis besar diduduki oleh eks kombatan GAM dan para pejuang, mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk memperpanjang masa otonomi khusus yang selama ini berkaca kepada perlakuan pusat terhadap traumatik masyarakat Aceh yang belum sepenuhnya hilang dari ingatan. 

Selain itu dana otonomi khusus masih sangat dibutuhkan oleh pemerintah Aceh untuk membangun kembali wajah Aceh yang lebih maju dan sejahtera setelah musibah tsunami melanda dan memusnahkan seluruh wilayah Aceh. Selain itu gubernur Aceh juga telah menemui presiden Republik Indonesia untuk kembali melihat dan memberikan kesempatan Aceh dengan memperpanjang hak otonomi khsusunya. Bukan hanya itu, DPRA juga mendesak agar Otonomi khusus Aceh juga dapat dipermanen kan mengingat bahwa sumbangan Aceh semasa kemerdekaan kepada pemerintah pusat sangatlah besar dibandingkan daerah lain. Hal ini dikarenakan Aceh meras tertinggal  dalam membangun peradaban selama masa konflik yang berkepanjangan.

Di Indonesia sendiri, terdapat empat provinsi yang mendapatkan hak otonomi khusus yang pola penerapan desentralisasinya bersifat asimetris, yaitu Aceh, Papua, Yogyakarta dan DKI Jakarta. Berdasarkan teori desentralisasi yang dipelopori oleh Van der Pot didalam bukunya yang berjudul “Hanboek van Netherlands Staatsrech” mengungkapkan  bahwa  van der pot memberdakan desentralisasi atas sesentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional.
 Desentraslisasi teritorial didasarkan olej bentuk bada yang didasarkan pada wilayah, berbentuk otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan desentralisasi fungsional  dalam bentuk badan-badan  yang didasarkkan oleh tujuan tertentu ( Bagir Manan, 1990:29). 

 Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan bahwa penyerahan sejumlah urusan pemerintah dari pemerintah pusat kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah tanggadaerah itu sendiri (C.S.T Kansil, 2001:2-3). Sehingga segala prakarsa, wewenang atau urusan dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan menjadi tangung jawab daerah. Hal ini juga  berdasarkan pasal 1 angka 8 UU pemda disebutkan bahwa “asas desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi”. Dengan demikian daerah diberikan suatu kewenangan dalm membuat peraturan daerah, untuk mengatur tentang pelaksanaan pemerintah daerahnya menurut kepentingan dan kebutuhan pemerintahnya, akan tetapi tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat baik konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kemudian, desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah pada perkembangannya melahirkan pengertian otonomi, yaitu merupakan suatu hak atau wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus atau mengatur sendiri urusan rumah tangganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tentu berorientasi pada peningkatan kesjahteraan masyarkat dengan memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat dan harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya. 

Selanjutnya, Asas desentralisasi  dikenal terbagi dalam dua kategori, yaitu selain desentralisasi simetris (symmetric decentralization) juga dikenal desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi daerah. Sebagaimana yang dikemukan leh Joachim Wehner  bahwa pemeberian otonomi yang berbeda atas  satu daerah atau wilayah dari bebrapa daerah merupakan prkatek penyelenggaraan pemerintah yang cukup umum yang ditemui dalam penaglaman pengaturan politik di banyak Negara (Agung Djojosoekarto, 2008:10). 

Otonomi khusus adalaha kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah “tertentu” untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat didaerah tersebut. Maksud dari kata “tertentu”  yaki dapat menata daerah dan bagian dari daerah tersebut agar lebih baik lagi dibidang tertentu sesuai dengna aspirasi didaerahnya. Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa,  karena otonomi ini diberikan kepada daerah “tertentu” yang berarti daerah tersebut mempunyai kelompok gerakan kemerdekaan yang ingin memisahkan dirinya (daerahnya)dari wilayah NKRI. Hal ini dimaksud antara lain suatu cara pendekatan pemerintah secara jalan damai agar kelompok gerakan tersebut tidak  terus bergejolak lagi.

Pendekatan dan pemberlakuan desentralisasi asimentris atau otonomi khusus, menurut Hurst Hannum, yang mengistilahkan dengan territorial autonomy, paling tidak terdapat dua manfaat, yaitu: 1). Sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-konflik fisik lainnya. Contohnya, Hongkong jelas bagian daerah kedaulatan negara Cina, tetapi memberikan sejumlah kewenangan penting kepada Hongkong dalam bidang politik, hukum dan ekonomi 2). Sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah-masalah kaum minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang diperhatikan. 

Aceh mendapatkan otonomi khusus (otsu) berlandaskan, pertama melalui UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD, dan yang Kedua melalui UU No, 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada kebijakan pertama, pertimbangan pemberian otonomi khusus adalah: (1) bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang; (2) bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus; (4) bahwa UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; dan (5) bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (Agung Djojoesoekarto, 2008:49).

Kemudian selanjutnya, dasar pertimbangan pemberian kekhususan melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah: (1) bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa; (2) bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; (3) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; (5) bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Akan tetapi jauh sebelum itu, adanya keistimewaan bagi provinsi Aceh juga  tidak terlepas dari  sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Namun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 

Kemudian jika berkaca para track record penggunaan anggaran otonomi khusus di Aceh, masyarakat  masih belum merasakan manfaat secara menyeluruh, tentu hal ini ditandai dengan capaian pembangunan yang tidak sesuai dnegan harapan rakyat Aceh. Sehingga diperlukan suatu upaya pemerintahan Aceh dalam mempertahankan otonomi khusus yang akan berakhir pada  tahun 2027. 

Sejauh ini upaya pemerintah Aceh dalam mempertahankan otonomi khusus yaitu berupa adanya dukungan dari DPRA sebagai lembaga legislatif untuk meminta kepada pusat agar mempermanenkan otonomi khsusus di Aceh mengingat bahwa Aceh merupakan daerah yang mempunyai daya juang tinggi dan merupakan daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pantas bagi provinsi Aceh untuk mendapatkan otonomi khusus secara permanen. Selain itu upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah Aceh dengan melakukan komunikasi politik secara mendalam melalui pendekatan kepresidenan, sejauh ini pemerintah Aceh melalui Ir. Nova Iriansyah selaku Gubernur Aceh telah bertemu langsung dengan presdien Ir. Joko Widodo untuk memabahas otonomi khusus di Aceh, dan harapannya agar permintaan pemerintah Aceh untuk memperpanjang otonomi khusus tidak terlepas dari pemberian traumatik kepada masyarakat Aceh yang belum sepenuhnya hilang dari kehidupan masyakarat hingga hari ini, selain itu Aceh selama masa konflik banyak tertinggal dalam aspek ekonomi, politik dan pendidikan serta pembangunan diantara daerah lain. Tidak mudah bagi Aceh untuk bangun dan bangkit dengan periode yang diberikan. 

Namun jika otonomi khusus Aceh tidak mendapatkan dukungan perpanjangan , seharusnya dari sekarang ini pemerintah Aceh harus lebih efektif dan efisien dalam menggunakan anggaran otonomi khusus di periode terakhir ini , yakni dengan melakukan pengevaluasian dari pemerintah terhadap manfaat dana otsus kepada para korban konflik , kombatan GAM dan anak-anak korban konflik yang harus dahulu diprioritaskan karena mereka adala korban dari pelaku sejarah.

Saat ini hal utama yang harus dilakukan oleh pemimpin Aceh yaitu mewujudkan mimpi masa depan Aceh yang beriontasi kepada kesejahteraan, adil dan makmur. Salah satu tidak tercapainya pembangunan di Aceh yaitu adanya konflik di tubuh pemerintahan Aceh dari 2015 hingga 2020, hal ini berefek kepada penggunaan anggaran otonomi khusus di Aceh. Salah satu persoalan dinamika politik yang membuat Aceh tidak maksimal dalam mengurus dana otonomi khusus adanya ego sektoral antara legislatif (DPRA) dan Eksekutif (Gubernur Aceh) seperti penetapan APBA yang tiap tahun selalu terlambat (molor) hal ini tentu berefek kepada keterlambatan pembangunan di Aceh. Seharusnya dimasa-masa terakhir penerimaan otonomi khusus di Aceh maka diperlukan hubungan harmonis dari keduanya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan pembangunan provinsi Aceh yang lebih baik. 

Ikhtiar  lain yang harus dilakukan oleh semua kalangan baik pemerintah, elit politik dan masyarakat Aceh dalam memperjuangkan otonomi khusus (Otsus) yaitu dengan membangun dinamika politik di Aceh yang berorientasi kepada semangat membawa perubahan bagi provinsi Aceh yang lebih baik dan sesuai dengan harapan publik di Aceh. Hal terpenting yang harus dilakukan yaitu dengan distribusi peran yang mampu mengoptimalkan semua pihak dalam partisipasi,  dari berbagai pihak, akumulasi peran serta kesepakatan etika politik yang menjadi ciri khas dari Perpolitik Aceh. Hal ini bertujuan untuk membentuk karakter masyarakat politik yang cinta akan semangat membangun dan membesarkan provinsi Aceh nantinya.

Namun tidak menutup kemungkinan bahwa dinamika perjuangan perpanjangan otsus sebagai upaya elit politik agar tidak terlepas dari besarnya anggaran yang mampu mereka digunakan melalui permainan proyek, demi kepentingan politiknya saja. Hal ini bukan tanpa fakta, dengan tertangkapnya mantan gubernur Aceh sebagai salah satu contoh adanya permainan rente dalam pemerintahan Aceh (https://m.ccnindonesia.com).  Serta tidak menutup kemungkinan bahwa upaya perpanjangan otsus di Aceh juga merupakan langkah permainan elit politik untuk kembali merasakan manfaat otsus secara kepentingan politik saja

Referensi
Buku
Agung Djohosoekarto, dkk. 2008. Kebijakan otonomi khusus di Indonesia, 
pembelajaran dari kasus Aceh, Papua, Jakarta dan Yogyakarta. Jakarta : PT Kemitraan.
Perundang-Undangan
Undang-undang  Pemerintah Aceh (UUP) tahun 2006 tentang Penyelenggaran 
Pemerintahan Aceh.
UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD
Website
https://m.ccnindonesia.com
Share:
Komentar

Berita Terkini