Ada Badan Khusus di UU Otsus Papua yang Baru

Laporan: Redaksi author photo

Keterangan Foto : Warga Papua berdiri di lokasi perumahan bantuan warga asli suku Moi di Kampung Klatifi, Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (18/6/21).(ant)
Liputan23.com| Papua - Papua kini sudah memiliki UU Otonomi Khusus (Otsus) yang baru.  Presiden Joko Widodo telah menandatangani UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Otsus Papua itu, pada 19 Juli 2022 di Jakarta. Sebuah harapan baru, sebagai instrumen hukum yang tujuannya dapat menyejahterakan warga Papua.

Sebelumnya, DPR terlebih dahulu mengesahkan revisi UU Otsus Papua dalam forum Rapat Paripurna di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada 15 Juli 2021.

"Diketok secara aklamasi, kami bersyukur hasil kerja keras yang panjang, apresiasi kepada DPR. Otonomi Khusus Papua telah berjalan 20 tahun, banyak hal telah berhasil dicapai, namun banyak perlu diperbaiki, salah satu belum meratanya pembangunan antarkabupaten kota di Provinsi Papua dan Papua Barat," kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang hadir dalam rapat di DPR tersebut Bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.

Ketua Pansus Revisi UU Otsus Papua, Komarudin Watubun, menyatakan bahwa pengesahan Revisi UU Otsus Papua menjadi UU setelah mendengar semua masukan dari masyarakat Papua untuk meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan 20 tahun ke depan.

Gubernur Papua Lukas Enembe melalui juru bicaranya, Muhammad Rifai Darus juga memberikan apresiasi atas kinerja DPR dan Pemerintah Pusat dalam merumuskan UU Otsus Papua yang baru ini. Gubernur Lukas berharap, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bisa memiliki pemahaman yang sama terkait implementasi UU tersebut. Sehingga, tak ada perbedaan dalam penerapan aturan itu.

"Bapak gubernur mengharapkan seluruh pihak terkait untuk tetap berada dalam koridor sekutu yang sama agar tercipta sebuah cara pandang yang sama guna menjadikan kebijakan otonomi khusus Papua sebagai instrumen yang strategis dan berdayaguna dalam menyelesaikan sejumlah masalah di Bumi Cenderawasih secara komprehensif serta bermartabat," ujar Rifai di Jayapura, Senin (26/7/2021).

Sementara tokoh senior Papua Michael Manufandu mengapresiasi kinerja Pansus DPR RI yang telah melakukan revisi UU Otsus Papua. Menurutnya, dilansir dari Republika.co.id, UU Otsus Papua sebagai upaya meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "UU Otsus ini juga merupakan UU tentang kesejahteraan bagi rakyat Papua," kata Manufandu.

Tujuh Perubahan Penting dalam UU Otsus Papua 2021

Ada beberapa hal baru yang dimasukkan dalam UU Otsus Papua hasil revisi ini. Di antaranya adalah pasal yang menyatakan bahwa Presiden RI akan membentuk sebuah badan khusus untuk pembangunan Papua. Badan tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Presiden dengan anggota sejumlah menteri kabinet dan juga diharapkan ada perwakilan tokoh-tokoh senior Papua yang memiliki pengalaman panjang dalam mengurus rakyat Papua.

Nama-nama anggota badan khusus itu nanti akan diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo bertepatan dengan perayaan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta, dan badan khusus ini – yang sekretariatnya berada di Papua - langsung bertanggung jawab kepada Presiden RI.

Namun demikian, badan khusus yang akan dibentuk itu, menurut Ketua Pansus Revisis UU Otsus Papua Komarudin Watubun, hanyalah merupakan salah satu dari tujuh poin penting yang ada dalam UU Otsus Papua tersebut. Dalam UU Otsus Papua 2021 ini ada 18 pasal yang direvisi atau mengalami perubahan, yaitu terdiri dari 3 pasal usulan pemerintah, dan 15 pasal di luar usulan pemerintah. Ini masih ditambah lagi dengan 2 pasal tambahan. Sehingga total ada 20 pasal perubahan dari UU Otsus yang lama (2001).

Menurut  Komarudin, poin penting pertama dalam perubahan UU Otsus Papua itu adalah mengakomodasi perlunya pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat.

Dalam bidang politik, misalnya. Perubahan itu dapat dilihat dengan diberikannya perluasan peran politik bagi Orang Asli Papua dalam keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Menurut Komarudin, yang juga politisi asal PDI-P itu, DPRK merupakan sebuah nomenklatur baru pengganti DPRD yang diinisiasi dalam UU Otsus yang baru.

"Kursi dari unsur pengangkatan anggota DPRK ini tidak boleh diisi dari partai politik, dan memberikan afirmasi 30 persen dari unsur perempuan. Penegasan ini juga berlaku bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

Sementara itu, dalam bidang pendidikan dan kesehatan, UU Otsus ini telah mengatur mengenai kewajiban Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan untuk Orang Asli Papua. Sehingga, dengan demikian Orang Asli Papua dapat menikmati pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi, dan tingkat kesehatan Orang Asli Papua juga akan semakin meningkat. "Secara simultan, diharapkan indikator pendidikan dan kesehatan di Papua dapat meningkat," tutur Komarudin.

Kemudian, dalam bidang ketenagakerjaan dan perekonomian, Komarudin mengungkapkan bahwa Pasal 38 UU Otsus Papua telah menegaskan, dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Papua, wajib mengutamakan Orang Asli Papua.

Poin penting kedua adalah terkait lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP. Dalam UU Otsus Papua yang baru ini, bakal memberikan kepastian hukum bahwa MRP dan DPRP berkedudukan di masing-masing ibu kota provinsi dan dengan memberikan penjelasan mengenai penamaan masing-masing lembaga. Menurut Komarudin, hal ini agar tercipta kesamaan penyebutan nama untuk kegunaan administrasi pemerintahan. "UU ini juga memberikan penegasan bahwa anggota MRP tidak boleh berasal dari partai politik," tegasnya.

Poin ketiga yaitu terkait partai politik lokal. Agar tidak terjadi perbedaan pandangan, UU ini mengadopsi Putusan MK Nomor 41/PUU-XVII/2019. "Sebagai wujud kekhususan di Papua, maka keanggotaan DPRP dan DPRK, selain dipilih juga dilakukan pengangkatan dari unsur Orang Asli Papua," kata Komarudin. Dengan disediakannya ruang pengangkatan, lanjutnya, hal ini diharapkan dapat memenuhi keinginan nyata Orang Papua.

Poin keempat yaitu terkait Dana Otsus, Pansus menyadari bahwa persoalan Otsus Papua bukan semata-mata mengenai besaran dana. Sekalipun Pansus DPR dan Pemerintah bersepakat bahwa Dana Otsus mengalami peningkatan dari 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional menjadi 2,25 persen. Namun, UU ini telah memperkenalkan sebuah tata kelola baru bagi penggunaan Dana Otsus.

Hal yang juga menarik adalah poin kelima, yaitu hadirnya sebuah Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3). Menurut Komarudin, Pansus dan Pemerintah menyadari bahwa selama 20 tahun berjalannya Otsus Papua, ada banyak program atau kegiatan yang dilakukan berbagai kementerian/lembaga di Papua yang tidak sinkron dan harmonis. "Kehadiran BK-P3 yang diketuai langsung oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap provinsi yang ada di Papua, dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua," katanya. Hal ini juga merupakan simbol menghadirkan Istana di Papua, sebagaimana dicita-citakan Presiden Joko Widodo.

Poin keenam yaitu terkait pemekaran provinsi di Papua. Pemekaran provinsi di Papua selain dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, juga dapat dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. Pemerintah dan DPR juga dapat melakukan pemekaran provinsi tersebut tanpa melalui tahapan daerah persiapan.

"Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakat Papua dan memberikan jaminan dan ruang kepada Orang Asli Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian dan sosial budaya," jelasnya.

Poin ketujuh terkait peraturan pelaksanaan dari UU Otsus Papua yang terbaru. Ia menekankan bahwa UU Otsus Papua hasil revisi ini bercermin dari realisasi peraturan pelaksanaan UU Otsus yang lama- yang selalu terlambat. Bahkan, lanjut Komarudin, ada realisasi peraturan pelaksanaan yang belum terbentuk hingga sampai saat ini. Padahal UU Otsus yang lama ini sudah diundangkan sejak 2001 silam.

Maka dengan UU Otsus Papua 2021 ini mewajibkan peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) paling lambat 90 hari kerja dan bagi Peraturan Daerah Provinsi diberi waktu satu tahun.

Leadership dan Tata Kelola Dana Otsus

Setelah palu diketok yang meloloskan UU No. 2/2021 Tentang Otsus Papua ini, Manufandu mengingatkan bahwa sebagus apa pun hasil revisi UU Otsus Papua, namun dalam implementasinya sangat bergantung kepada pemimpin di Tanah Papua.

"Leadership itu sangat penting. Pemimpin itu harus bisa mendidik dan menuntun rakyatnya. Pemimpin Papua harus bisa meyakinkan rakyat Papua bahwa mereka adalah warga negara Indonesia asal dari Papua, mereka adalah bagian integral dari penduduk Indonesia. Pemimpin-pemimpin itu sekarang dimintai pertanggungjawaban untuk membangun Papua di Indonesia dan membangun Indonesia di Papua," papar Manufandu yang juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Administratif Jayapura.

Sementara Menko Polhukam Mahfud MD menanggapi terkait pengesahan revisi UU Otsus Papua. Menteri Mahfud mewanti-wanti soal Dana Otsus yang pengelolaannya nanti akan didampingi Pemerintah Pusat. "Dana Otsus itu akan dimaksimalkan untuk kesejahteraan di Papua. Tidak lagi akan dibiarkan untuk dikelola tanpa pertanggungjawaban yang jelas, tetapi akan didampingi oleh Pemerintah Pusat," ujar Menteri Mahfud.

Bisa dipahami kegalauan dari Menteri Mahfud. Menurut catatan InfoPublik, pendanaan untuk Papua dan Papua Barat cukup besar selama 20 tahun terakhir. Total alokasi Dana Otsus dan Dana Transfer Infrastruktur sejak 2002-2021 mencapai Rp138,65 triliun. Ini belum termasuk Transfer Keuangan dan Dana Desa (TKDD) dari 2005-2021 mencapai Rp702,3 triliun dan belanja kementerian/lembaga mencapai Rp251,29 triliun selama 2005-2021.

Ini belum termasuk tingginya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenan (SILPA) pemanfaatan Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur Papua sebesar Rp6,4 Triliun dari 2013-2019. Sedangkan SILPA di Papua Barat sebesar Rp2,4 Triliun di periode yang sama. Besarnya SILPA tersebut menunjukkan adanya tata kelola keuangan yang perlu diperbaiki.

Sementara itu, Menteri Tito juga pernah mengungkapkan beberapa waktu lalu bahwa laporan penggunaan Dana Otsus masih sebatas menyajikan informasi realisasi penggunaan dana. Sementara belum tersedia informasi terkait seberapa jauh capaian keluaran (output) dan seberapa efektif hasil (outcome) yang dapat dirasakan masyarakat Papua. "Jadi, informasinya (penggunaan Dana Otsus) hanya sebatas tentang realisasi penggunaan dananya. Belum ada laporan tentang output dan outcome-nya," ujar Menteri Tito.

Mudah-mudah dengan UU No. 2/2021 Tentang Otsus Papua ini, semua kekhawatiran dan pelajaran dari masa lalu bisa diambil hikmahnya. Apalagi ada badan khusus yang nantinya akan mengawal penggunaan Dana Otsus serta implementasi pembangunan di Papua - yang ujungnya untuk kesejahteraan warga Papua.(red_inp)

Share:
Komentar

Berita Terkini