Wamenkumham : Kelebihan Kapasitas Lapas Tanggung Jawab Bersama

Laporan: Redaksi author photo

Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan keliru jika ada pihak yang menyalahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), terkait over capacity atau kelebihan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

"Boleh dikatakan over kapasitas itu tidak bisa Kemenkumham dipersalahkan," kata Wamenkumham melalui keterangan tertulisnya, Kamis (5/8/2021).

Alasannya, kata Wamenkumham, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Lapas adalah tempat pembuangan akhir.

Lapas tidak bisa mengintervensi sistem peradilan pidana dan hanya menerima putusan pengadilan.

Menurut Wamenkumham, ketika berbicara kelebihan kapasitas di Lapas maka institusi kejaksaan, kepolisian dan pengadilan yang harus diajak berbicara guna mengatasi masalah tersebut.

"Sebab, ketika hakim memutus perkara ia tidak akan mau tahu penjara sudah penuh atau tidak," kata Wamenkumham.

Akhirnya, ketika eksekusi oleh penuntut umum jatuh maka mau tidak mau Lapas yang ada di Tanah Air akan menerimanya karena tidak bisa melakukan intervensi lembaga peradilan.

"Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini, Lapas juga tidak terlibat dalam proses ajudikasi," ungkapnya.

Wamenkumham menegaskan mengatasi kelebihan kapasitas hunian di Lapas dengan menambah gedung, atau membuat penjara baru bukan  solusi terbaik.

Namun, pemerintah harus membangun sistem peradilan yang komprehensif dan holistik serta merujuk pada paradigma hukum pidana modern yang berlaku secara universal.

Dia menyebutkan kelebihan kapasitas di Lapas tidak terlepas dari orientasi paradigma hukum pidana, yang masih dipegang aparat penegak hukum pada keadilan retributif atau pembalasan.

"Padahal, sejak 1990 sudah ada perubahan paradigma hukum pidana yang tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif atau pembalasan tetapi pada keadilan korektif, restoratif dan keadilan rehabilitatif," ujarnya.(ip_red)

Share:
Komentar

Berita Terkini