SEJARAH NEGERI INI DALAM CATATAN IBNU BATHUTAH

Laporan: REDAKSI author photo
Sultan itu bernama Malik Azh-Zhahir. Ia sosok yang disegani dan dihormati. Lebih dari itu, ia penganut madzhab Syafi’i. 

Ia sangat mencintai para fuqaha yang datang ke majelisnya untuk bertukar pendapat. Rakyat mengenalnya sebagai sosok yang senang berjihad namun juga rendah hati. Ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat dengan berjalan kaki. 

Penduduk negeri ini senang berjihad bersama sultan dan memenangkan pertempuran melawan orang kafir, hingga orang-orang kafir membayar jizyah sebagai bentuk perdamaian.”

Demikian pembukaan narasi indah yang dituliskan Sang Pengelana Ibn Bathutah, ketika mulai menuliskan tentang Kerajaan Samudera Pasai yang disinggahinya. Sebuah kerajaan yang wilayahnya kini menjadi bagian dari Provinsi Aceh.

Negeri yang dituliskan dengan segala puja karena keindahannya, kesuburan tanahnya, keramahan dan kesalehan penduduknya, serta sultan yang sederhana dan dicintai rakyatnya.

Ia begitu terkesan, sewaktu  shalat Jumat semua yang datang ke masjid mengenakan gamis dan surban putih, sehingga tak dikenalinya yang mana sultan yang mana rakyat jelata. Bahkan ia menduga saat itu sultan berhalangan hadir karena sakit. 

Usai shalat Jumat, sultan menerima rakyatnya yang mengadukan dan berdiskusi perihal apa saja di dalam masjid sampai waktu Ashar tiba. Semua pendapat didengarkan dan diterima sultan dengan senyum yang sejuk.

Usai shalat Ashar, sultan masuk ke bilik khusus untuk mengganti gamisnya dengan pakaian kebesaran kerajaan dan kembali ke istana dengan menunggang kudanya yang gagah. 

“Aku berpikir, rupanya waktu berangkat dari istana menuju masjid, sultan hanyalah hamba Allah seperti manusia lainnya. Tapi sewaktu pulang ke istana, barulah ia tampil sebagai Sultan Samudera Pasai.”

Begitu terkesannya Ibn Bathutah dengan Aceh, hingga dua kali ia menyinggahinya  dalam Grand Journey-nya. Pastilah dulunya negeri itu sangat penting. Karena tak semua tempat ia singgahi, apalagi sampai tercatat dalam kitab masyhurnya “ar-Rihlah”.

Nyaris kita tidak punya gambaran seperti apa relasi bangsa ini dengan daulah-daulah besar Islam yang pernah memimpin bumi. 

Padahal selain Samudra Pasai yang termaktub dalam kitab Ibn Bathutah, juga tercatat surat menyurat antara Raja Sri Indrawarman (702-728 M) yang merupakan raja Kerajaan Sriwijaya setelah Dapunta Hyang (671-702 M) kepada Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan dan Khalifah Umar ibn Abd Azis (720-722 M). Surat itu masih tersimpan rapi di Museum Madrid, Spanyol.

Pernahkah kita membaca dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di bangku sekolah tentang relasi-relasi istimewa itu? 

Atau minimal tentang kesalehan penduduk negeri ini? Yang dalam catatan Ibnu Bathutah di tahun 1345 telah beragama Islam dengan benar dan bermadzhab Syafi’i.

Sementara yang didiktekan pada kita di bangku sekolah, Islam baru masuk ke nusantara abad ke-13. Berdasar teori Gujarat yang diusung Snouck Hurgronje. 

Bagaimana mungkin Islam baru datang, tapi sudah berdiri sebuah kerajaan Islam yang besar dan menjadi persinggahan internasional?

Referensi yang digunakan untuk penulisan sejarah bangsa ini adalah apa yang dituliskan oleh para orientalis dan penjajah.

*Alangkah anehnya, kita mempercayai apa yang dituliskan oleh bangsa yang datang untuk merampok kekayaan negeri ini. Sehingga nyaris kita tidak punya gambaran apa yang terjadi dengan umat Islam sebelum para penjajah itu datang.*

Doa untuk para Syuhada yang membebaskan negeri ini dengan darah dan air mata.
Share:
Komentar

Berita Terkini