Dilema Anak Berkewarganegaraan Ganda

Laporan: Redaksi author photo

Jakarta – Indonesia, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, hanya mengenal kewarganegaraan tunggal, dan kewarganegaraan ganda terbatas.

Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki kewarganegaraan ganda terbatas adalah anak hasil perkawinan campuran antara WNI dan Warga Negara Asing (WNA). Namun di usia 18 tahun, atau paling lambat 21 tahun, anak yang memiliki kewarganegaraan ganda terbatas tersebut harus memilih apakah akan menjadi WNI, atau WNA.

“Memilih kewarganegaraan (bagi anak hasil perkawinan campur) sangat sulit. Terlebih bila anak tersebut sedang mendapatkan beasiswa (scholarship) dari negara asing. Berarti anak tersebut harus melepas beasiswa tersebut bila memilih menjadi WNI,” ujar Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Cahyo R. Muzhar, di Jakarta,pada Senin (08/11/2021).

Lebih lanjut Dirjen AHU menjelaskan, tidak sedikit anak dari perkawinan campur lebih memilih menjadi WNA ketika dihadapi kondisi seperti itu. Padahal, Indonesia membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas untuk berkontribusi membangun bangsa.

“Hal ini sesuai slogan Presiden RI Joko Widodo, SDM Unggul Indonesia Maju,” tandas Cahyo.

Contoh kasus tersebut, lanjut Dirjen AHU, merupakan salah satu permasalahan terkait kewarganegaraan yang ada di Indonesia. Untuk menghadapi segala permasalahan terkait kewarganegaraan, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) menyelenggarakan Seminar Rekonstruksi Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia untuk Menjamin Perlindungan, dan Kepastian Hukum Warga Negara.

“Semoga forum ini menghasilkan pemikiran-pemikiran, rekomendasi konkrit, yang dapat meminimalisir permasalahan terkait kewarganegaraan, sehingga Indonesia bisa lebih maju,” ucap Cahyo.

Senada dengan Dirjen AHU, artis yang juga anak berkewarganegaraan ganda terbatas, Tatjana Saphira juga mengungkapkan isi hatinya ketika harus memilih kewarganegaraan.

“Dengan UU Nomor 12 Tahun 2006, saya sangat senang di usia 17 tahun bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun di usia 21 tahun menjadi tahun yang sangat sulit, karena harus memilih kewarganegaraan. Seperti harus memilih antara Ayah, dan Ibu,” kata Tatjana saat memberikan testimoni dalam seminar.

Lebih lanjut Tatjana mengatakan, pada akhirnya memutuskan menjadi WNI. Dan prosesnya dilalui dengan cepat melalui aplikasi online dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), yaitu sistem administrasi kewarganegaraan elektronik.

“Petugasnya sangat ramah, dan pelayanannya juga sangat memuaskan,” ungkap Tatjana.

Namun, lanjut Tatjana, bila boleh memilih, dirinya berharap tidak harus memilih kewarganegaraan.

“Kalau bisa tidak harus memilih, bisa berkewarganegaraan ganda seterusnya,” kata Tatjana.

Kini Tatjana telah menjadi WNI, dan memiliki Paspor Indonesia. Tetapi ada sedikit perbedaan di dalam Paspor Tatjana, di dalamnya terdapat stempel khusus pemerintah Jerman, yang memungkinkan Tatjana dapat dengan mudah keluar-masuk Jerman, atau menetap di Jerman.

“Saya berharap, Pemerintah Indonesia juga bisa memberikan kemudahan bagi anak dari perkawinan campur yang memilih menjadi WNA untuk keluar-masuk, atau menetap di Indonesia,” harap Tatjana.

Pada kesempatan ini, Ditjen AHU me-launching pengembangan aplikasi pewarganegaraan yang bernama Simponik (Sistem Aplikasi Pewarganegaraan Elektronik), yang dapat diakses melalui laman resmi Ditjen AHU di www.ahu.go.id. Aplikasi ini dikhususkan untuk Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) dalam hal pengiriman berkas permohonan pewarganegaraan berdasarkan Pasal 8 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Simponik dapat mempermudah pelaksanaan penyampaian dokumen persyaratan pewarganegaraan, dan berita acara sumpah oleh Kanwil Kemenkumham, yang awalnya dilakukan secara manual kemudian menjadi elektronik. (khi/adv)

Share:
Komentar

Berita Terkini